Latest Posts

You Are (Not) My Fate

By 21.25 , , ,

Bismillahirrahmanirrahim..


رفعت الأقلام
و جفت الصحف

Pilih dicintai atau mencintai?
Pertanyaan klasik yang membuat banyak orang terpekur bingung.. akupun demikian, tapi belum lama ini aku menemukan sebuah pertanyaan yang menurutku jauh lebih sulit untuk dijawab,
‘pilih menolak atau ditolak?’
Ya Allah, kalau boleh menjawab versiku sendiri tentu aku memilih kedua pilihan di pertanyaan pertama dan menolak kedua pilihan di pertanyaan kedua.

Aku tidak ingin disakiti ataupun menyakiti, aku tidak ingin ada yang tersakiti dalam cerita cintaku, tapi dalam hal pernikahan, tentu saja pasti bermunculan penolakan-penolakan, berat memang, untuk menolak ataupun ditolak, tapi bila kita pikir-pikir lagi, bukankah sebenarnya itu indah? Allah menganugerahkan kecondongan dalam hati sehingga ia tahu kapan dan dimana harus berlabuh, ia begitu otomatis dalam mengenali hati mana yang cocok menjadi potongan yang akan melengkapinya.

“You are not my fate..”
Ini adalah alasan paling masuk akal tentang sebab mengapa ada penolakan, entahlah.. mungkin semacam alarm alam yang Allah titipkan dalam hati tiap insan untuk menjadi kompas dalam menemukan hati mana yang memang telah tersanding dan tercatat dalam lauh mahfudz untuknya.

Penikahan..
Subhanallah, betapa indahnya kalimat itu diucapkan, bersuanya dua insan yang pada awalnya saling asing satu sama lain dalam suatu ‘mitsqalan ghalidza’, ikatan suci yang kuat dalam rangka melaksanakan sunnah Rasul sekaligus menjadi ibadah yang boleh jadi sekali memutuskan untuk memulai, temponya bisa amat lama sekali, terkadang bahkan bisa seumur hidup.
Bersatunya dua keluarga menjadi saudara, kemudian kedua insan yang bersangkutan itu memisahkan diri –meski bukan berarti benar-benar berpisah- untuk mulai membangun keluarga baru. Terus demikian hingga akhir kehidupan manusia.

Nampak simpel bukan? Dan demikianlah adanya, kata umiku, sebenarnya pernikahan seharusnya memang sesimpel itu saja.. memang pasti ada pertimbangan-pertimbangan khusus dalam memilih pasangan yang akan menjadi teman seumur hidup, sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga pernah mengatakan, bahwa hal yang perlu dipertimbangkan dari wanita yang akan dinikahi ada 4 hal : kecantikannya, hartanya, keturunannya dan agamanya. Agama, meski disebutkan terakhir namun ujar beliau, itulah yang terpenting. Masya Allah..

Namun kenyataan yang terjadi sekarang ini, sayangnya tidak demikian, banyak faktor yang menjadi dorongan dalam kriteria memilih pasangan untuk pernikahan, yang apabila ditulis, entah berapa lembar yang akan terisi, syarat-syarat yang tidak semudah membalikkan telapak tangan semua isinya, dan kebanyakan berorientasi ke sesuatu yang fana saja, harus lulus sarjana, harus punya rumah, punya pekerjaan tetap, harus begini, harus begitu, dan lain sebagainya, seolah mereka lupa bahwa menikah adalah ibadah..

Atas dasar inilah banyak terjadi penolakan, ketika tidak tercapainya harapan yang terlalu tinggi, manusia memang egois kan? Tak dapat dipungkiri bahwa kita salah satunya.. bagaimana tidak, seringkali kita lupa bahwa tidak ada manusia yang sempurna, kau pasti bercanda, mengharapkan pasangan hidup seperti yang diceritakan dalam dongeng..

Lalu bagaimana bila memang kriteria sudah kita ringkas sesederhana mungkin, namun tetap tidak ada dalam dirinya? Haruskah penolakan? Tentu saja, apa lagi? Meski sebenarnya itu seharusnya menjadi pilihan terakhir, setelah sekian banyak pertimbangan tentunya.. dan dengan cara penyampaiannya yang baik.

Baiklah, akan kuceritakan sesuatu, aku mengenal baik seorang gadis yang ia harus mengalami keempat rasa itu sebelum menemukan cinta sejatinya, dicintai, mencintai, menolak dan ditolak –dalam ikatan yang suci tentunya, pernikahan, bukan pacaran-.. tapi ia menghadapi semua itu dengan Ridha akan takdir-Nya, ia terus berusaha memperbaiki diri, ia yakin bahwa jodoh yang telah ditentukan Allah tidak akan tertukar, maka ketika sang pangeran yang telah Allah sandingkan namanya di Lauh Mahfudz itu tiba pada waktunya, kedatangannya itu menjadi hadiah yang amat menakjubkan baginya, Allah menjadikannya bidadari di sisinya, dan itulah saat dimana kedua hati itu akan berbisik, “you are my fate..”


Eh, lalu bagaimana denganku? Umm, jujur saja, aku hanya berharap dibersamai dengan sesosok Faaris Ahlam yang dapat membimbingku hidup di atas Islam dan Sunnah sehingga Syurga akan terasa begitu dekat saat bersamanya, pangeran yang diridhai oleh kedua orang tuaku tentunya, karena ridha Allah ada pada ridha keduanya kan? Aku percaya pada pilihan kedua orangtuaku, aku akan menerimanya, siapapun itu, insya Allah.

Oya aku jadi ingat perkataan seorang sahabat, katanya orang tua itu selalu lebih tahu dimana letak kebahagiaan anaknya dibanding anak itu sendiri, karena bagaimanapun juga orang tua pasti selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya.

So how is my fate? Ngg, kelak bagaimana pernikahanku nantinya ya? Akankah aku merasakan ‘dicintai, mencintai, menolak dan ditolak’ juga? Ah, pertanyaan menarik, Masya Allah, tapi aku tidak tahu dan belum ingin tahu jawabannya.. Eh, aku tidak tahu bagaimana wajahku saat ini #memerah. Sudah ah, yang terpenting aku jalani kehidupanku sekarang sebaik-baiknya sampai masa itu tiba. Yang jelas aku percaya bahwa,
رفعت الأقلام
و جفت الصحف

Pena takdir telah diangkat,
Dan lembaran Lauh Mahfudz telah kering..
Tak akan ada yang mengubahnya kecuali Allah.
Wallahu A’lam.

You Might Also Like

0 comments

Thank you so much if you're going to comment my post, give advice or criticism. I'm so happy ^_^ But please don't advertising and comment with bad words here. Thanks !

♥ Aisyah