You Are (Not) My Fate
Bismillahirrahmanirrahim..
رفعت
الأقلام
و
جفت الصحف
Pilih dicintai atau mencintai?
Pertanyaan
klasik yang membuat banyak orang terpekur bingung.. akupun demikian, tapi belum
lama ini aku menemukan sebuah pertanyaan yang menurutku jauh lebih sulit untuk dijawab,
‘pilih menolak atau ditolak?’
Ya
Allah, kalau boleh menjawab versiku sendiri tentu aku memilih kedua pilihan di
pertanyaan pertama dan menolak kedua pilihan di pertanyaan
kedua.
Aku
tidak ingin disakiti ataupun menyakiti, aku tidak ingin ada yang
tersakiti dalam cerita cintaku, tapi
dalam hal pernikahan, tentu saja pasti bermunculan penolakan-penolakan, berat
memang, untuk menolak ataupun ditolak, tapi bila kita pikir-pikir lagi, bukankah
sebenarnya itu indah? Allah menganugerahkan kecondongan dalam hati sehingga ia
tahu kapan dan dimana harus berlabuh, ia begitu otomatis dalam mengenali hati
mana yang cocok menjadi potongan yang akan melengkapinya.
“You are not my fate..”
Ini
adalah alasan paling masuk akal tentang sebab mengapa ada penolakan, entahlah..
mungkin semacam alarm alam yang Allah titipkan dalam hati tiap insan untuk
menjadi kompas
dalam menemukan hati mana yang memang telah tersanding dan tercatat dalam lauh
mahfudz untuknya.
Penikahan..
Subhanallah,
betapa indahnya kalimat itu diucapkan, bersuanya dua insan yang pada awalnya
saling asing satu sama lain dalam suatu ‘mitsqalan ghalidza’, ikatan suci yang
kuat dalam rangka melaksanakan sunnah Rasul sekaligus menjadi ibadah yang boleh
jadi sekali memutuskan untuk memulai, temponya bisa amat lama sekali, terkadang
bahkan bisa seumur hidup.
Bersatunya
dua keluarga menjadi saudara, kemudian kedua insan yang bersangkutan itu
memisahkan diri –meski bukan berarti benar-benar berpisah- untuk mulai
membangun keluarga baru. Terus demikian hingga akhir kehidupan manusia.
Nampak
simpel bukan? Dan demikianlah adanya, kata umiku, sebenarnya pernikahan seharusnya
memang sesimpel itu saja.. memang pasti ada pertimbangan-pertimbangan khusus
dalam memilih pasangan yang akan menjadi teman seumur hidup, sebagaimana
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga
pernah mengatakan, bahwa hal yang perlu dipertimbangkan dari wanita yang akan
dinikahi ada 4 hal : kecantikannya, hartanya, keturunannya dan agamanya. Agama,
meski disebutkan terakhir namun ujar beliau, itulah yang terpenting. Masya
Allah..
Namun
kenyataan yang terjadi sekarang ini, sayangnya tidak demikian, banyak faktor
yang menjadi dorongan dalam kriteria memilih pasangan untuk pernikahan, yang
apabila ditulis, entah berapa lembar yang akan terisi, syarat-syarat yang tidak
semudah membalikkan telapak tangan semua isinya, dan kebanyakan berorientasi ke
sesuatu yang fana saja, harus lulus sarjana, harus punya rumah, punya pekerjaan
tetap, harus begini, harus begitu, dan lain sebagainya, seolah mereka lupa
bahwa menikah adalah ibadah..
Atas
dasar inilah banyak terjadi penolakan, ketika tidak tercapainya harapan yang
terlalu tinggi, manusia memang egois kan? Tak dapat dipungkiri bahwa kita salah
satunya.. bagaimana tidak, seringkali kita lupa bahwa tidak ada manusia yang
sempurna, kau pasti bercanda, mengharapkan pasangan hidup seperti yang
diceritakan dalam dongeng..
Lalu
bagaimana bila memang kriteria sudah kita ringkas
sesederhana mungkin, namun tetap tidak ada dalam dirinya? Haruskah
penolakan? Tentu saja, apa lagi? Meski sebenarnya itu seharusnya menjadi
pilihan terakhir, setelah sekian banyak pertimbangan tentunya.. dan dengan cara
penyampaiannya yang baik.
Baiklah,
akan kuceritakan sesuatu, aku mengenal baik seorang gadis yang ia harus
mengalami keempat rasa itu sebelum menemukan cinta sejatinya, dicintai,
mencintai, menolak dan ditolak –dalam ikatan yang suci tentunya, pernikahan,
bukan pacaran-.. tapi ia menghadapi semua itu dengan Ridha akan takdir-Nya, ia
terus berusaha memperbaiki diri, ia yakin bahwa jodoh yang telah ditentukan
Allah tidak akan tertukar, maka ketika sang pangeran yang telah Allah
sandingkan namanya di Lauh Mahfudz itu tiba pada waktunya, kedatangannya itu
menjadi hadiah yang amat menakjubkan baginya, Allah menjadikannya bidadari di
sisinya, dan itulah saat dimana kedua hati itu akan berbisik, “you are my
fate..”
Eh,
lalu bagaimana denganku? Umm, jujur saja, aku hanya berharap dibersamai dengan
sesosok Faaris Ahlam yang dapat membimbingku hidup di atas Islam dan
Sunnah sehingga Syurga akan terasa begitu dekat saat bersamanya, pangeran
yang diridhai oleh kedua orang tuaku tentunya, karena ridha Allah ada pada
ridha keduanya kan? Aku percaya pada pilihan kedua orangtuaku, aku akan
menerimanya, siapapun itu, insya Allah.
Oya aku
jadi ingat perkataan seorang sahabat, katanya orang tua itu selalu lebih tahu
dimana letak kebahagiaan anaknya dibanding anak itu sendiri, karena
bagaimanapun juga orang tua pasti selalu menginginkan yang terbaik untuk
anaknya.
So how is
my fate? Ngg, kelak bagaimana pernikahanku nantinya ya? Akankah aku merasakan
‘dicintai, mencintai, menolak dan ditolak’ juga? Ah, pertanyaan menarik, Masya
Allah, tapi aku tidak tahu dan belum ingin tahu jawabannya.. Eh, aku tidak tahu
bagaimana wajahku saat ini #memerah. Sudah ah, yang terpenting aku jalani
kehidupanku sekarang sebaik-baiknya sampai masa itu tiba. Yang jelas aku
percaya bahwa,
رفعت
الأقلام
و
جفت الصحف
Pena
takdir telah diangkat,
Dan
lembaran Lauh Mahfudz telah kering..
Tak
akan ada yang mengubahnya kecuali Allah.
Wallahu
A’lam.
0 comments
Thank you so much if you're going to comment my post, give advice or criticism. I'm so happy ^_^ But please don't advertising and comment with bad words here. Thanks !
♥ Aisyah