Catatan Mudik 2017
Bismillahirrahmanirrahim.
Ramadhan kali ini sebenarnya aku memutuskan untuk tidak ikut mudik bersama
keluarga besarku ke kampung Cilacap, namun abi mendesak dan rasanya tidak
afdhal jika aku tidak ikut serta dalam pulang kampung tahunan ini, akhirnya aku
ikut bersama temanku Habibah.
Sawah di kebun belakang rumah mbah (umi ikut terfoto di sana)
Adat kebiasaan kami setiap pulang mudik selain jalan-jalan bersama, juga
berkunjung silaturrahim ke rumah keluarga, yang demikian itu adalah untuk tetap
menyambungkan tali persaudaraan yang telah berlangsung turun temurun.
Jadi, tanggal 28 Juni, sehari setelah kami sampai kampung (perjalanan 18
jam, Masya Allah, tak disangka ternyata setelah lebaran pun arus mudik masih
macet ya), kami berkunjung ke rumah saudara jauh mbah kakung di Kalipucang,
namanya mbah Wasan di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat, jadi penghabisan
kabupaten Cilacap, ada simbol Cilacap coret nya juga.
Di sana, suasananya masih sangat alami dan tradisional, karena dekat
pantai, kebun sekitar rumahnya ada banyak pohon kelapa. Eksterior halamannya
didekorasi dengan banyak bebatuan alam yang telah diukir indah sejak 20 tahun
yang lalu saat beliau masih menjadi nelayan dan pohon serta bebungaan unik yang
jarang aku lihat sebelumnya. Mbah Wasan juga memelihara banyak angsa, bebek dan
entok. Manis sekali, membuatku betah berlama-lama disana.
suasana halaman belakang rumah mbah Wasan
Seperti biasa, kami menyempatkan diri untuk foto bersama, saat itu yang
bertugas memfotokan adalah cucunya mbah Wasan yang seumuran Rofiq (sepupuku
yang duduk di kelas 2 SMP). Namun karena kami berjumlah cukup banyak, dia sudah
mundur-mundur untuk mendapatkan angle yang pas agar kami semua masuk layar
kamera. Saat itu aku kaget, tapi yang lain biasa saja, dianya juga biasa saja,
tapi aku heran sekali, ia memanjat pohon kelapa! Jujur baru pertama kali ini
aku melihat seseorang mengambil foto dari atas pohon, Masya Allah.
Dari Kalipucang, niatnya hendak kami melanjutkan perjalanan berwisata ke
pantai Pangandaran, namun karena perjalanan kami macet, akhirnya kami berbelok
dan mengambil alternatif pantai Karapyak. Oh ya rombongan keluarga kami dibagi
menjadi 2 mobil, yang satu Avanza dibawa oleh ami yang berisi perempuan semua,
ada aku, Habibah, umi, amah, mbah putri dan bude. Adapun sisanya seperti abi,
kakek, paman, Rofiq dan teman-temannya (yang masih terhitung saudara jauh kami)
naik mobil bak terbuka yang beratap, mereka jadi seperti sedang kemping karena
membawa tikar dan kasur, he..
Saat di gerbang masuk, mbak-mbak yang bertugas mematok harga 55 ribu untuk
setiap mobil, namun paman nego hingga dapat membayar 40 ribu saja. Kami kira
lumayan, namun ternyata mobil bak yang dikendarai oleh suami sepupu perempuanku
itu hanya membayar 20 ribu saja, "makanya nego pake bahasa sunda"
celetuk abi,
"Emang abi bilangnya gimana?"
"Biasa teh sapuluh teh, dua puluh wae lah.. teu aya karcisna
oge.."
Kami tertawa mendengarnya, ternyata kemampuan berbahasa sunda abi punya
keuntungan juga Alhamdulillah..
Meski sudah bayar lumayan mahal, tapi tidak mengecewakan kok, karena
pantainya bersih dan tidak ramai, jadi kami puas bermain di sana. Sebenarnya
ombaknya cukup besar, namun kami hanya bermain di sekitar pantainya saja,
kecuali Rofiq dan teman-temannya yang berani sampai ke tengah, aku maklum sih,
mereka kan anak-anak laut yang memang sejak kecil sudah terlatih berenang. Aku
saja hanya berjalan-jalan di tepi pantai yang Subhanallah penuh dengan
kerang-kerang cantik, kalau lepas sandal, jadi sakit saat melangkah. Sepupuku
yang kecil-kecil sibuk mengumpulkan kerang dan karang di tempat kecil. Aku juga
sempat turun ke air yang agak tengah yang dangkal karena banyaknya karang di
sana, semakin ke tengah, kami menemukan karang yang lebih cantik, warnanya
ungu! Masya Allah.
Kerang cantik di sekitar pantai
Setelah makan siang, kami bersih-bersih dan langsung pulang. Di jok
belakang selain aku dan Habibah ada 2 bocil (sepupuku) yang selalu menguntit
kami, namanya Rozaq dan Farih, usianya baru 6 dan 7. Pulang-pulang mereka ribut
tapi lucu sekali, ngobrol ini itu, saudara lintas daerah jadi kadang tidak
nyambung, Rozaq yang lahir di Banten terbiasa dengan budaya Sunda ingin
dipanggil 'aa' dan Farih lahir di Cilacap jadi lancar berbahasa Jawa medok,
Rozaq pun mulai belajar bahasa Jawa ngapak, tapi sejauh ini yang sering
diulang-ulang hanya 'ora' saja, hha.. kamipun jadi tidak bisa tidur deh..
Habibah meng-handle Rozaq yang aktif dan cerewet, sedangkan aku meng-handle
Farih yang cenderung lebih diam, tapi namanya anak kecil saat bercanda kadang
tiba-tiba bertengkar (meski nantinya tertawa lagi), Alhamdulillah kami sampai
rumah dengan selamat.
Bocil sepupuku : (kiri ke kanan) Farih, Rohim, Rozaq
Esok harinya saat semuanya jalan-jalan ke Cilacap kota dan berbelanja
oleh-oleh, aku dan Habibah tidak ikut, kami istirahat saja di rumah. Malam
harinya kami diteror oleh berbagai macam hewan, awalnya ada kecoa yang terbang
saat kami menonton tv, sontak aku, Habibah, umi dan amah Asma berteriak
ketakutan, mbah langsung terkejut, namun setelah tahu kejadian sebenarnya mbah
langsung tertawa.. setelah itu ada kodok di dekat pintu samping rumah, Habibah
pun sibuk mengusirnya keluar dengan sapu. Belum selesai di situ, aku dan
Habibah melihat tikus kecil melompat di langit-langit memasuki plafon, hii..
ngeri melihatnya. Bahkan saat kami hendak tidur kami mendengar suara tokek dari
dapur, kami langsung memejamkan mata, khawatir tiba-tiba merpati peliharaan
mbah Sukinem masuk jendela, tuh kan jadi membayangkan yang tidak-tidak.
Hari Jumat pagi kami pulang setelah berpamitan dengan keluarga besar. Di
tengah perjalanan, ada kejadian menarik. Dari Limbangan Garut sampai Nagreg
Bandung jalur dibuat satu arah, Masya Allah. Jadi perjalanan kami lancar
Alhamdulillah. Sepanjang perjalanan setiap gang dijaga oleh polisi yang berseragam
hijau stabilo. Wah jadi terasa di-khususkan, heu..
terowongan Nagreg
Saat aku menulis ini, aku masih dalam perjalanan di tol Cikampek daerah
Karawang Timur, meski padat merayap, perjalanan kami lancar Alhamdulillah.
Karawang Timur, Jumat, 30 Juni 2017.
Banyak yang aku pelajari dari perjalanan mudik kali ini, tapi yang
terpenting adalah, keluarga lebih berharga dari apapun.
Family is where life begins and love never ends.
5 comments
setiap perjalanan mudik memang selalu membawa cerita tersendiri ya mbak
BalasHapusAisyah jalan-jalan ke Sulawesi skali2 euy :D
BalasHapusMudik yang bikin malas tuh macetnya kalau jalan darat. Tapi selalu senang karena berkumpul dengan keluarga besar
BalasHapusSerunya mudik itu di sambung travelling bareng keluarga, makin berasa bgt kebersamaannya
BalasHapusWaaaah, Cilacap, kampung saya deket-deket sana, di Purbalingga. Sedih tahun ini belum mudik :(
BalasHapusThank you so much if you're going to comment my post, give advice or criticism. I'm so happy ^_^ But please don't advertising and comment with bad words here. Thanks !
♥ Aisyah