Analisis Berpikir Kritis Nabi Ibrahim Alayhissalam
Bismillah.
Kita sebagai seorang Muslim yang beriman kepada para Nabi
dan Rasul mengakui dan mempercayai kerasulan Nabi Ibrahim Alayhissalam.
Sebetulnya ummat Muslim bukan satu-satunya yang mengakui beliau sebagai nabi,
ada ummat lain yang mengaku bagian dari agama Nabi Ibrahim Alayhissalam,
namun beberapa dari pengakuan tersebut tidak diiringi dengan aksi dan bukti
nyata.
Pada saat itu, ketika Al-Quran diturunkan, dan Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallam yang dikenal Al-Amin (terpercaya) menyampaikan
kepada mereka, mereka menjawab:
‘tidak, terima kasih. Kami sudah memiliki apa yang harus
kami ikuti, kami tidak perlu memikirkan wahyu baru ini, kami sudah memiliki
wahyu kami sendiri’
Dan Allah telah berfirman:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ آمِنُوا بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا نُؤْمِنُ بِمَا أُنْزِلَ عَلَيْنَا وَيَكْفُرُونَ بِمَا وَرَاءَهُ وَهُوَ الْحَقُّ مُصَدِّقًا لِمَا مَعَهُمْ
Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Berimanlah
kepada Al Qur'an yang diturunkan Allah", mereka berkata: "Kami hanya
beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami". Dan mereka kafir kepada
Al Qur'an yang diturunkan sesudahnya, sedang Al Qur'an itu adalah (Kitab) yang
hak; yang membenarkan apa yang ada pada mereka.
[QS. Al-Baqarah: 91]
Namun poin pentingnya di sini adalah, sebagian dari ummat
terdahulu yang menolak Al-Quran, tidak mempercayai para Nabi, mereka mengatakan
bahwa mereka hanya akan mengikuti nenek moyang mereka.
‘Kita mengikut bagaimana leluhur kita, sehingga kita tidak
perlu memikirkan apapun, seluruh pemikiran itu sudah dilakukan oleh leluhur kita
sejak dahulu, jadi apa pun yang leluhur kita lakukan kita lakukan saja, mengapa
harus dipertanyakan lagi? Jika kita mempertanyakan apa yang orang tua kita
lakukan, apa yang kakek-nenek kita lakukan, apa yang kakek buyut lakukan, itu
tidak sopan. Kita tidak boleh mempertanyakan apa yang mereka sudah budayakan, kita
harus mengikutinya apapun itu.’
Namun, begini, jika kita percaya dan beriman pada nabi
Ibrahim Alayhissalam, maka kita tidak boleh seperti itu, karena sebegaimana
Nabi Ibrahim Alayhissalam yang sepanjang hidupnya begitu kritis
mengajukan berbagai pertanyaan, ia tidak pernah berhenti bertanya, baik kepada
ayahnya, kepada raja yang berkuasa pada masa itu, hingga kepada masyarakatnya.
Dan Nabi Ibrahim Alayhissalam belum akan menerima
jawaban kecuali ada bukti yang jelas dan alasan yang masuk akal, hal ini
membuktikan bahwa nabi Ibrahim Alayhissalam adalah pemikir sejati, beliau
seorang pemikir, beliau tidak akan pernah menerima nilai, budaya atau apapun itu
jika hanya sekedar warisan leluhur tanpa mengetahui esensinya.
Maka, bila kita mengaku mengikuti Nabi Ibrahim Alayhissalam,
maka kita seharusnya kita membiasakan diri untuk berpikir, mengajukan
pertanyaan, tidak menerima secara instan, terus berekspolasi, tidak mengatakan ‘kami
melakukan ini karena orang tua kami melakukannya.’
Segala sesuatu yang kita lakukan, definisi tentang benar
dan salah, definisi tentang apa yang harus kita lakukan dan apa yang tidak
boleh kita lakukan, apa yang kami terima dan apa yang kita tolak berdasarkan
pada firman Allah:
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي
‘Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan
orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan mata terbuka (hujah
yang nyata)’
[QS. Yusuf: 108]
Itulah yang diajarkan oleh nabi Ibrahim Alayhissalam,
jangan pernah menerima apa pun dengan mata tertutup, berpikirlah! bertanyalah!
Jika kita belum paham tentang suatu perkara dalam agama, tanyakan
pada orang yang lebih tahu, ketika mereka memberi jawaban dan kita belum puas
dengan jawaban itu, katakanlah ‘Saya tidak puas dengan jawaban tersebut.
Saya butuh penjelasan lebih lanjut.’
Kita bukan hanya punya hak untuk bertanya, kita bahkan punya
tanggung jawab untuk bertanya. Inilah yang harus kita ajarkan kepada anak-anak
kita. Dan sebetulnya, inilah inti tulisan kali ini, bukan tentang Nabi Ibrahim Alayhissalam,
ini adalah pembelajaran dari kisah nabi Ibrahim Alayhissalam tadi.
Ketika ketika ummat kita berhenti berpikir, ketika ummat
kita meninggalkan kebiasaan berpikir, maka dapat memicu hal yang kita khawatirkan
pada ummat. Generasi berikutnya kelak akan menjadi Muslim hanya karena orang
tua mereka Muslim. Kemudian satu-satunya alasan seorang anak berpegang pada
Islam hanya karena orang tuanya mengharapkan demikian.
Saat ini kita hidup di zaman di mana banyak keluarga yang
tinggal terpisah dengan anak-anaknya, anak-anak pergi merantau, menjalani
kehidupan mandiri, terutama ketika mereka kuliah ke perguruan tinggi atau
mendapatkan pekerjaan, mereka mulai memiliki kehidupan sendiri, dan muncullah
fenomena dimana orang tua beragama dengan relijius namun anak-anak mereka tidak
demikian.
Mereka mengatakan, ‘ketika dulu saya tinggal bersama
orang tua, biasanya saya diajak ke tempat ibadah, ayah saya membawa saya untuk
Shalat Jum’at setiap pekan, tetapi sekarang saya tidak tinggal bersama ayah, saya
sudah kuliah, saya bebas, maka saya tidak punya alasan lagi untuk pergi lagi,
dulu kan alasannya adalah ayah saya.’
Adapun ketika mereka kembali untuk berlibur ke rumah
orang tua mereka, barulah mereka kembali ke masjid lagi, dan ketika mereka
kembali ke perguruan tinggi, mereka merasa bebas lagi. Begitu siklus ini terus
berlanjut.
Hal ini terjadi karena kita tidak mengajari anak-anak kita
bagaimana mereka berpikir dan memahami tentang Islam untuk diri mereka sendiri,
kenapa mereka menjadi seorang Muslim? Kenapa mereka harus beriman pada Allah? Kenapa
mereka harus membaca Al-Quran? Kenapa mereka harus bertanya?
Agama kita bukan agama yang hanya meminta kita untuk menerima
segala sesuatu dengan mata tertutup, atau hanya mengikuti apa adanya. Lihatlah
bagaimana nabi Ibrahim Alayhissalam tidak hanya bertanya kepada
orang-orang, ia bahkan bertanya langsung kepada Allah:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ أَرِنِي كَيْفَ تُحْيِ الْمَوْتَى
‘Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku,
perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati".’
[QS. Al-Baqarah: 260]
Nabi Ibrahim Alayhissalam bertanya kepada Allah
secara langsung, bagaimana Allah menghidupkan yang mati, dan Allah bertanya
kepadanya,
قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِنْ
Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu?"
[QS. Al-Baqarah: 260]
Kata Allah, ‘bukankah kamu sudah memiliki Iman? Sudah
percaya?’
Nabi Ibrahim Alayhissalam pun menjawab,
قَالَ بَلَى وَلَكِنْ لِيَطْمَئِنَّ قَلْبِي
Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakininya, akan
tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku)"
[QS. Al-Baqarah: 260]
Allah mengajarkan kita melalui contoh Nabi Ibrahim Alayhissalam
bahwa kita harus berani bertanya sampai kita yakin seyakin-yakinnya, sampai
hati kita tenang dan damai. Kita harus bereksplorasi! Kita harus berpikir! Kita
harus menanamkan bagaimana cara berpikir kepada anak-anak kita nantinya!
Sayangnya, pendidikan agama sekarang, bahkan lembaga yang
memiliki pendidikan Islam jarang sekali mengajarkan murid-muridnya tentang
berpikir, mereka fokus menghafal surat, belajar bagaimana berwudhu, nama-nama
bulan hijriyah, dan lain sebagainya. Hasilnya.. sebagian berpikir bila sudah
menghafal Quran maka itu saja sudah cukup.
Anak-anak kita hafal Quran, mereka melantunkan Quran tapi
tidak diajak berpikir tentang kandungan ayat-ayatnya, jadi bagaimana mungkin
mereka membaca ayat:
أَفَلا تَعْقِلُونَ
Maka apakah kamu tidak memahaminya?
[QS. Al-Qasash: 60]
Anak-anak kita membaca
‘maka tidakkah kamu berpikir’ dan dia tidak diajak berpikir. Ada ironi
dalam fenomena ini.
وَمَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا كَمَثَلِ الَّذِي يَنْعِقُ بِمَا لا يَسْمَعُ إِلا دُعَاءً وَنِدَاءً
Dan perumpamaan (orang yang
menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang
yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja.
[QS. Al-Baqarah: 171]
Anak-anak kita melantunkan ayat ini, kita bahagia melihat
mereka mengimami shalat dan dia membaca ayat yang mengisahkan contoh dari
orang-orang yang ketika mereka mendengar panggilan dari Allah bagaikan mendengar
panggilan hewan, dalam artian tidak memberikan dampak apapun.
Anak kita membaca ayat ini dan dia tidak mengerti, ini adalah
tragedi yang terjadi pada ummat. Generasi ini harus menghentikan keberlanjutannya,
karena Wallahil Adzim, kita tahu apa yang menarik orang-orang kepada
ateisme, menjauh dari agama, semisal ucapan,
‘saya benar-benar percaya pada sains, saya tidak
percaya pada Tuhan’
‘Dalam sains, kita bisa berpikir rasional. Dalam ilmu
pengetahuan, kita bisa berpikir masuk akal’
Mungkin memang ada beberapa agama lain yang tidak menghendaki
perngikutnya untuk berpikir, tapi agama kita, Islam berdasar dan berakar pada
pemikiran. Pemikiran itu, pertanyaan kritis itu, eksplorasi itu, sejatinya adalah
pembelajaran dari Nabi Ibrahim Alayhissalam. Kita sering berbicara
tentang perjuangan dakwah Nabi Ibrahim Alayhissalam, tetapi kita jarang
berbicara tentang bagaimana proses berpikirnya Nabi Ibrahim Alayhissalam.
Kita butuh orang-orang seperti beliau di masyarakat kita,
orang-orang yang berani bertanya, tidak menerima begitu saja apa yang ada di
sekitar mereka. Nabi Ibrahim Alayhissalam adalah teladan yang mengajukan
pertanyaan. Beliau bahkan tidak mendapatkan dukungan keluarga, tidak ada
dukungan dari masyarakat. Beliau adalah pemuda yang berani dan cerdas, Masya
Allah. Dan tugas kitalah yang harus kita menghidupkan kebiasaan baik berpikir
kritis ini kembali.
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan
jika kamu tidak mengetahui.
[QS. An-Nahl: 43]
~ Tulisan ini terinspirasi dan ditulis berdasarkan dari
salah satu tausiyah Ustadz Nouman Ali Khan, dengan beberapa perubahan.
0 comments
Thank you so much if you're going to comment my post, give advice or criticism. I'm so happy ^_^ But please don't advertising and comment with bad words here. Thanks !
♥ Aisyah