Latest Posts

Allah Pleaser

By 09.57 , , , , , , ,

Bismillah.



Jangan menjadi people pleaser!

Aku membaca tulisan itu di sebuah kiriman media sosial beberapa waktu lalu. Dan saat itu juga, aku antusias, people pleaser? Hmm, terbayang dalam benakku, seseorang yang selalu menyenangkan orang lain. Eh, bukankah aku juga merupakan salah satu dari tipe orang-orang yang ingin selalu berusaha menyampaikan cahaya kebahagiaan dalam hati orang lain? So, am I a people pleaser?

Rupanya benar, people pleaser adalah sebutan bagi mereka yang cenderung melakukan sesuatu untuk menyenangkan orang lain bahkan di atas kepentingannya sendiri dan berusaha untuk tidak membuat oranglain tidak kecewa (Dayana, 2019). Seseorang juga dikatakan sebagai people pleaser ketika kita mengutamakan oranglain dan menomorduakan keinginan kita sendiri atau bahkan sampai mengabaikannya (Cahyanti, 2019).

Akhirnya aku sampai pada kesimpulan, kalau dilihat dari definisi di atas, berarti iya, aku termasuk.

Sebetulnya awalnya aku pikir ini hanyalah tipe manusia, ada yang people-pleaser, ada yang cuek, ada yang humoris, dan lain sebagainya dari karakter. Namun ternyata, faktanya adalah yang satu ini bukan, people-pleaser dapat menjadi sebuah kebiasaan yang negatif dan merugikan diri sendiri, katanya.

Tapi sebentar..

Bukankah ada kisah tentang Abu Thalhah yang menjamu tamunya dengan makanan yang jumlahnya sedikit, dan beliau meminta anak-anaknya tidur tanpa makan malam, sedang beliau sendiri mematikan lampu dan ikut berpura-pura makan dalam suasana yang gelap sehingga tidak nampak bahwa piringnya kosong, sedangkan semua makanan diberikan untuk tamunya?

Bukankah ada kisah pula, tentang seorang pimpinan pasukan Muslim, yang ketika salah seorang utusan dari kaum Badui datang dan menancapkan pedangnya di hadapan beliau dan tanpa sengaja melukai kaki pimpinan ini namun beliau diam dan sabar menyimak penyampaian dari utusan ini sampai selesai karena khawatir membuatnya merasa bersalah dan jadi takut?

Bukankah ada kisah tentang seorang pemuda yang kelak menjadi ayah Abu Hanifah yang memakan buah yang tidak diketahui pemiliknya tanpa izin, kemudian ketika meminta izin, si pemilik pohon baru bersedia mengizinkan, memberikan ridhanya apabila ia mau menikahi puterinya yang buta, tuli dan bisu, kemudian pemuda ini menerimanya?

Bukankah kita juga mendengar kisah tentang Ali bin Abi Thalib yang rela menggantikan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidur di ranjangnya ketika rumah sang Nabi dikepung dan ia harus bertaruh nyawa? Atau kisah tentang kebun kurma dan sumur Utsman bin Affan yang beliau wakafkan? Atau tentang kebun di Khaibar yang diwakafkan Umar bin Khattab? Atau tentang seluruh harta yang dishadaqahkan Abu Bakar ridha dengan Allah dan Rasul-Nya untuk keluarganya?

Hingga.. kisah sosok yang bahkan ketika menjelang detik-detik akhir hidupnya, masih memikirkan ummat yang dicintainya? Sosok yang senantiasa kita panjatkan shalawat dan salam atasnya, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam?

Bukankah..

Bukankah semua ini mengutamakan orang lain di atas kepentingan dirinya?

Apakah sosok-sosok luar biasa ini termasuk people pleaser?

Nyatanya tidak.

Ini adalah apa yang disebut dengan itsar.



Itsar adalah mendahulukan orang lain dalam urusan dunia walau kita pun sebenarnya butuh.

Secara bahasa itsar bermakna mendahulukan, mengutamakan. Sedangkan secara istilah, yang dimaksud itsar adalah mendahulukan yang lain dari diri sendiri dalam urusan duniawiyah berharap pahala akhirat. Itsar ini dilakukan atas dasar yakin, kuatnya mahabbah (cinta) dan sabar dalam kesulitan (Tuasikal, 2018).

Hal ini sebagaimana yang Allah sebutkan dalam Al-Quran:

 عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌوَيُؤْثِرُونَ

dan mereka (orang-orang Anshar) mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).

[QS. Al-Hasyr: 9]

Bukankan ini persis sekali dengan definisi people pleaser?

Jadi people pleaser ini baik atau tidak? Positif atau, kelihatannya saja positif tapi memberikan efek negatif pada diri sendiri?

Allahu A’lam Bisshawab (Allah lebih mengetahui kebenarannya), tapi aku cenderung pada, melihat bahwa meski bentuknya sama, sama-sama mengutamakan orang lain, tapi ada satu perbedaan di sini; orientasi, tujuan, niat, purpose, intention.

Seorang people pleaser berusaha menyenangkan orang lain, dan ya, hanya sampai segitu saja. Adapun tokoh-tokoh hebat yang kita sebutkan di atas, tidak sebatas itu, ada tujuan super tinggi yang ingin dicapai, karena mereka punya tujuan hidup jelas, punya cita-cita tinggi, tidak lain dan tidak bukan adalah, meraih ridha Allah Ta’ala. Sehingga jika boleh aku rangkum dalam satu terma agar dapat mendiferensiasi kedua bentuk tindakan ini, maka orang-orang ini dapat dinyatakan sebagai Allah pleaser.

Sosok yang mereka mengutamakan Allah, berusaha untuk melakukan kebaikan, mendahulukan orang lain, berbagi dengan sesama, bahkan ketika diri sendiri membutuhkan. Rupanya ada yang lebih dari hanya sekedar membutuhkan penerimaan dari orang lain, mencari ridha manusia, bukan, bukan hanya itu. Tapi semata-mata karena Allah. Sehingga inilah yang akan membedakan implikasi perasaan pada pelakunya.

Seorang people pleaser akan cenderung menyenangkan orang lain dengan harapan ia dapat diterima dengan baik oleh orang tersebut, dan jika ternyata yang terjadi tidak demikian, atau terjadi demikian, ia diterima, tapi hanya sesaat, akan ada kecewa dalam dirinya, akan ada rasa sedih karena tidak mendapatkan apa yang ia ekspektasikan. Sehingga akan mungkin sekali, ketika perasaan negatif ini muncul, mengikutsertakan rasa-rasa negatif lainnya, aura yang tidak menyenangkan untuk dirasakan.

Adapun Allah pleaser, sejak awal ia sadar, bahwa ia berbuat baik pada orang lain sejatinya adalah berbuat baik pada diri sendiri, karena selain ia mengharapkan balasan -hanya- dari Allah berupa pahala, syurga dan keridhaan-Nya, namun juga karena ia sadar, tidak ada kebaikan yang sia-sia.

هَلْ جَزَاءُ الْإِحْسَانِ إِلَّا الْإِحْسَانُ

Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).

[QS. Ar-Rahman: 60]

Ia yakin, bahwa ada Rabb yang menitipkan dua malaikat menjaga di sisi kanan dan kirinya, sehingga setiap kebaikannya akan terekam sedetail mungkin dalam catatan amalnya, demikian juga berbuat keburukan, sehingga karena yakin Allah Maha Melihat, ia takut berbuat maksiat. Toh, jika kenyataannya ia mendapat balasan yang kurang baik dari orang yang telah ia beri kebaikan, Allah Maha Kuasa memberikan balasan kebaikan dari arah yang tidak disangka-sangka. Bahkan, sekalipun balasan itu tidak diberikan di dunia, perjalanan masih panjang, kebaikan itu bisa berupa cahaya di alam kubur, pemberat timbangan amal, atau menjadi pembicaraan penghuni langit.



Oleh karena itu, pada akhirnya aku sadar, bahwa kita semua tetap harus menjadi orang baik. Bukan saja agar dunia ini menjadi lebih baik, yang meski dalam artian ini adalah sebuah efek positif tapi hanya sementara, tapi juga karena ini perintah Allah, karena Allah yang meminta kita untuk berbuat baik, untuk saling menghormati, saling menyayangi, saling berkata-kata yang baik, saling menampakkan keceriaan.

لا تحقِرنَّ من المعروف شيئًا، ولو أن تلقى أخاك بوجه طَلْقٍ

Janganlah meremehkan kebaikan meskipun kecil, meski hanya memasang wajah berseri tatkala bertemu dengan saudaramu.”

[HR Muslim : 2626]

Namun,

Yang perlu diingat adalah, mengutamakan orang lain hanya berlaku dalam perkara yang bukan ibadah. Adapun pada perkara ibadah, kita diperintahkan untuk saling berlomba-lomba (dan masya Allah perlombaan kebaikan ini adil sekali, semua bisa menjadi pemenang, semua bisa mendapatkan pahala tanpa mengurangi pahala orang lain, tidak ada teori pareto optimum). Sehingga jika dalam perkara menghafal Al-Quran, misalkan. Tentunya kita sebagai seorang muslim harus menjadi yang paling pertama, yang paling semangat, untuk belajar dan mengajarkannya juga. Jangan sampai mendahulukan orang lain, ‘kamu silahkan menghafal Al-Quran duluan, aku kapan-kapan saja..’ bukan begitu konsepnya. Sehingga yang berlaku adalah perkara yang bukan ibadah, seperti misalnya dalam masalah harta, tahta dan lain sebagainya.

Jujur saja, aku pribadi yakin sekali, bahwa ketika kita berbuat kebaikan dengan diniatkan ikhlas karena Allah, kemudian kita betul-betul tulus ingin memberikan kebaikan pada orang lain, insya Allah niat itu akan tersampaikan, kebaikan yang datang dari hati, akan sampai ke hati insya Allah.

Kalaupun tidak, dan hipotesaku ternyata salah, atau tidak berlaku ke semua orang, maaf ya, tapi tidak apa-apa, mungkin kita yang harus muhasabah lagi, barangkali kita belum cukup tulus dan ikhlas memberikan kebaikan itu. Karena ketulusan akan nampak dari ciri seperti, dipuji tidak membuatnya tinggi hati dan dicaci tidak membuatnya rendah diri.

Suatu waktu aku pernah membayangkan, setenang apa ya berada dalam lingkungan keluarga Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para sahabatnya yang memiliki hati nan begitu jernih, tidak mengharapkan apapun kecuali kebaikan, Masya Allah Tabarakallah.. Tapi karena aku sadar ini tidak mungkin di dunia, dan hanya mungkin di akhirat nanti Insya Allah (semoga Allah karuniakan kita dibersamakan dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, para nabi, para sahabat, para syuhada dan orang-orang shalih), maka mari kita mulai dari diri sendiri dulu, kemudan kita tularkan semangat menebar kebaikan ini keluarga terdekat kita, sahabat-sahabat kita, hingga ke semua orang, Insya Allah.

Masya Allah tidak terasa sudah sepanjang ini ya.

Terimakasih untukmu yang sudah membaca sampai sini.

Jadi inti dari tulisan ini adalah, aku ingin membesarkan hati orang-orang yang kusayangi karena Allah, kemudian saudara saudari semuslimku, dan semua teman-teman bahwa kita semua bisa menjadi orang baik, bukan sebagai people pleaser, tapi mari kita ubah menjadi Allah pleaser. Menjadi khalifah di muka bumi, menjadi sosok yang namanya boleh jadi tidak dikenal di dunia, tapi disebut oleh penghuni langit, menjadi manusia seutuhnya yang sesuai dengan fitrah penciptaannya, yakni sebagai hamba yang beribadah pada Allah, mengamalkan tujuan diutusnya nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, yaitu menyempurnakan akhlak yang baik, sehingga semoga, kita menjadi manusia terbaik versi hadits:

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا

Orang yang imannya paling sempurna di antara kaum mukminin adalah orang yang paling bagus akhlaknya di antara mereka.

 


Bismillah yaa, semoga Allah mudahkan kita selalu untuk berbuat kebaikan, karena tidak ada daya dan upaya kecuali dari Allah. Sehingga perlu sekali kita senantiasa memohon taufiq dan hidayah-Nya agar selalu istiqomah dalam kebaikan.

Untukmu yang sedang membaca tulisan ini,

Semoga Allah mudahkan semua urusanmu, semoga kamu selalu berada dalam lindungan Allah.

Jangan lupa untuk berdzikir :)

 


Daftar pustaka

Cahyanti, A. D. (2019). 8 Ciri Ini Tunjukkan Seorang People Pleaser, Kamu Merasa? Idntimes.Com.

Dayana, A. S. (2019). Mengenal People-Pleaser dan Cara Mengatasinya. Tirto.Id.

Tuasikal, M. A. (2018). Sudahlah Biarkan Dia Duluan.

https://bimbinganislam.com/penjelasan-dari-wajah-ceria-yang-berpahala/

https://muslim.or.id/3421-keutamaan-tersenyum-di-hadapan-seorang-muslim.html

https://muslimah.or.id/11083-buah-indah-dari-itsar-mendahulukan-kepentingan-orang-lain.html

https://muslimah.or.id/811-itsar.html

https://muslim.or.id/10250-itsar-mendahulukan-saudaranya-dari-diri-sendiri-1.html

https://rumaysho.com/17217-kisah-itsar-para-salaf-sudahlah-biarkan-dia-duluan.html

You Might Also Like

1 comments

  1. Thankyou so much for this beautiful answer 🥰🥰🥰

    BalasHapus

Thank you so much if you're going to comment my post, give advice or criticism. I'm so happy ^_^ But please don't advertising and comment with bad words here. Thanks !

♥ Aisyah