Self Healing
Bismillah.
Self-healing.
Duowoo.... semoga
bermanfaat untuk kesehatan.
Kami sedang antri periksa
kesehatan. Dokter yang kami kunjungi ini termasuk dokter sepuh –berusia sekitar
tujuh puluhan- spesialis penyakit “Silakan duduk,” sambut dr. Paulus.
Aku duduk di depan meja
kerjanya, mengamati pria sepuh berkacamata ini yang sedang sibuk menulis
identitasku di kartu pasien.
“Apa yang dirasakan, Mas?”
Aku pun bercerita tentang
apa yang kualami sejak 2013 hingga saat ini. Mulai dari awal merasakan sakit
maag, peristiwa-peristiwa kram perut, ambruk berkali-kali, gejala dan vonis
tipes, pengalaman opnam dan endoskopi, derita GERD, hingga tentang radang
duodenum dan praktek tata pola makan Food Combining yang kulakoni.
“Kalau kram perutnya sudah
enggak pernah lagi, Pak,” ungkapku, “Tapi sensasi panas di dada ini masih
kerasa, panik juga cemas, mules, mual. Kalau telat makan, maag saya kambuh.
Apalagi setelah beberapa bulan tata pola makan saya amburadul lagi.”
“Tapi buat puasa kuat ya?”
“Kuat, Pak.”
“Orang kalau kuat puasa,
harusnya nggak bisa kena maag!”
Aku terbengong, menunggu
penjelasan.
“Asam lambung itu,” terang
Pak Paulus, “Diaktifkan oleh instruksi otak kita. Kalau otak kita bisa
mengendalikan persepsi, maka asam lambung itu akan nurut sendiri. Dan itu sudah
bisa dilakukan oleh orang-orang puasa.”
“Maksudnya, Pak?”
“Orang puasa ‘kan malamnya
wajib niat to?”
“Njih, Pak.”
“Nah, niat itulah yang
kemudian menjadi kontrol otak atas asam lambung. Ketika situ sudah bertekad
kuat besok mau puasa, besok nggak makan sejak subuh sampai maghrib, itu membuat
otak menginstruksikan kepada fisik biar kuat, asam lambung pun terkendali. Ya
kalau sensasi lapar memang ada, namanya juga puasa. Tapi asam lambung tidak
akan naik, apalagi sampai parah. Itu syaratnya kalau situ memang malamnya sudah
niat mantap. Kalau cuma di mulut bilang mau puasa tapi hatinya nggak mantap, ya
tetap nggak kuat. Makanya niat itu jadi kewajiban, ‘kan?”
“Iya, ya, Pak,” aku
manggut-manggut nyengir.
“Manusia itu, Mas, secara
ilmiah memang punya tenaga cadangan hingga enam puluh hari. Maksudnya, kalau
orang sehat itu bisa tetap bertahan hidup tanpa makan dalam keadaan sadar
selama dua bulan. Misalnya puasa dan buka-sahurnya cuma minum sedikit. Itu
kuat. Asalkan tekadnya juga kuat.”
Aku melongo lagi.
“Makanya, dahulu raja-raja
Jawa itu sebelum jadi raja, mereka tirakat dulu. Misalnya puasa empat puluh
hari. Bukanya cuma minum air kali. Itu jaman dulu ya, waktu kalinya masih
bersih. Hahaha,” ia tertawa ringan, menambah rona wajahnya yang memang
kelihatan masih segar meski keriput penanda usia.
Kemudian ia mengambil
sejilid buku di rak sebelah kanan meja kerjanya. Ya, ruang praktek dokter
dengan rak buku. Keren sekali. Aku lupa judul dan penulisnya. Ia langsung
membuka satu halaman dan menunjukiku beberapa baris kalimat yang sudah
distabilo hijau.
“Coba baca, Mas:
‘mengatakan adalah mengundang, memikirkan adalah mengundang, meyakini adalah
mengundang’. Jadi kalau situ memikirkan; ‘ah, kalau telat makan nanti asam
lambung saya naik’, apalagi berulang-ulang mengatakan dan meyakininya, ya situ
berarti mengundang penyakit itu. Maka benar kata orang-orang itu bahwa
perkataan bisa jadi doa. Nabi Musa itu, kalau kerasa sakit, langsung mensugesti
diri; ah sembuh. Ya sembuh. Orang-orang debus itu nggak merasa sakit saat
diiris-iris kan karena sudah bisa mengendalikan pikirannya. Einstein yang
nemuin bom atom itu konon cuma lima persen pendayagunaan otaknya. Jadi potensi
otak itu luar biasa,” papar Pak Paulus.
“Jadi kalau jadwal makan
sembarangan berarti sebenarnya nggak apa-apa ya, Pak?”
“Nah, itu lain lagi. Makan
harus tetap teratur, ajeg, konsisten. Itu agar menjaga aktivitas asam lambung
juga. Misalnya situ makan tiga kali sehari, maka jarak antara sarapan dan makan
siang buatla sama dengan jarak antara makan siang dan makan malam. Misalnya,
sarapan jam enam pagi, makan siang jam dua belas siang, makan malam jam enam
petang. Kalau siang, misalnya jam sebelas situ rasanya nggak sempat makan siang
jam dua belas, ya niatkan saja puasa sampai sore. Jangan mengundur makan siang
ke jam dua misalnya, ganti aja dengan minum air putih yang banyak. Dengan pola
yang teratur, maka organ di dalam tubuh pun kerjanya teratur. Nah, pola teratur
itu sudah bisa dilakukan oleh orang-orang yang puasa dengan waktu buka dan
sahurnya.”
“Ooo, gitu ya Pak,”
sahutku baru menyadari.
“Tapi ya itu tadi. Yang
lebih penting adalah pikiran situ, yakin nggak apa-apa, yakin sembuh. Allah
sudah menciptakan tubu kita untuk menyembuhkan diri sendiri, ada mekanismenya,
ada enzim yang bekerja di dalam tubuh untuk penyembuhan diri. Dan itu bisa
diaktifkan secara optimal kalau pikiran kita optimis. Kalau situ cemas, takut,
kuatir, justru imunitas situ turun dan rentan sakit juga.”
Pak Paulus mengambil
beberapa jilid buku lagi, tentang ‘enzim kebahagiaan’ endorphin, tentang enzim
peremajaan, dan beberapa tema psiko-medis lain tulisan dokter-dokter Jepang dan
Mesir.
“Situ juga berkali-kali
divonis tipes ya?”
“Iya, Pak.”
“Itu salah kaprah.”
“Maksudnya?”
“Sekali orang kena bakteri
thypoid penyebab tipes, maka antibodi terhadap bakteri itu bisa bertahan dua
tahun. Sehingga selama dua tahun itu mestinya orang tersebut nggak kena tipes
lagi. Bagi orang yang fisiknya kuat, bisa sampai lima tahun. Walaupun memang
dalam tes widal hasilnya positif, tapi itu bukan tipes. Jadi selama ini banyak
yang salah kaprah, setahun sampai tipes dua kali, apalagi sampai opnam. Itu
biar rumah sakitnya penuh saja. Kemungkinan hanya demam biasa.”
“Haah?”
“Iya Mas. Kalaupun tipes,
nggak perlu dirawat di rumah sakit sebenarnya. Asalkan dia masih bisa minum,
cukup istirahat di rumah dan minum obat tipes. Sembuh sudah. Dulu, pernah di RS
Sardjito, saya anjurkan agar belasan pasien tipes yang nggak mampu, nggak punya
asuransi, rawat jalan saja. Yang penting tetep konsumsi obat dari saya, minum
yang banyak, dan tiap hari harus cek ke rumah sakit, biayanya gratis. Mereka
nurut. Itu dalam waktu maksimal empat hari sudah pada sembuh. Sedangkan pasien
yang dirawat inap, minimal baru bisa pulang setelah satu minggu, itupun masih
lemas.”
“Tapi ‘kan pasien harus
bedrest, Pak?”
“Ya ‘kan bisa di rumah.”
“Tapi kalau nggak pakai
infus ‘kan lemes terus Pak?”
“Nah situ nggak yakin sih.
Saya yakinkan pasien bahwa mereka bisa sembuh. Asalkan mau nurut dan berusaha
seperti yang saya sarankan itu. Lagi-lagi saya bilang, kekuatan keyakinan itu
luar biasa lho, Mas.”
Dahiku berkernyit.
Menunggu lanjutan cerita.
“Dulu,” lanjut Pak Paulus,
“Ada seorang wanita kena kanker payudara. Sebelah kanannya diangkat, dioperasi
di Sardjito.
Nggak lama, ternyata
payudara kirinya kena juga. Karena nggak segera lapor dan dapat penanganan,
kankernya merembet ke paru-paru dan jantung. Medis di Sardjito angkat tangan.
Dia divonis punya harapan
hidup maksimal hanya empat bulan.”
“Lalu, Pak?” tanyaku
antusias.
“Lalu dia kesini ketemu
saya. Bukan minta obat atau apa.
Dia cuma nanya; ‘Pak
Paulus, saya sudah divonis maksimal empat bulan.
Kira-kira bisa nggak kalau
diundur jadi enam bulan?’
Saya heran saat itu, saya
tanya kenapa.
Dia bilang bahwa enam
bulan lagi anak bungsunya mau nikah, jadi pengen ‘menangi’ momen itu.”
“Waah.. Lalu, Pak?”
“Ya saya jelaskan apa
adanya. Bahwa vonis medis itu nggak seratus persen, walaupun prosentasenya
sampai sembilan puluh sembilan persen,
tetap masih ada satu
persen berupa kepasrahan kepada Tuhan yang bisa mengalahkan vonis medis
sekalipun.
Maka saya bilang; sudah
Bu, situ nggak usah mikir bakal mati empat bulan lagi.
Justru situ harus siap
mental, bahwa hari ini atau besok situ siap mati.
Kapanpun mati, siap!
Begitu, situ pasrah kepada
Tuhan, siap menghadap Tuhan kapanpun. Tapi harus tetap berusaha bertahan
hidup.”
Aku tambah melongo. Tak
menyangka ada nasehat macam itu.
Kukira ia akan memotivasi
si ibu agar semangat untuk sembuh, malah disuruh siap mati kapanpun.
O iya, mules mual dan
berbagai sensasi ketidaknyamanansudah tak kurasakan lagi.
“Dia mau nurut. Untuk
menyiapkan mental siap mati kapanpun itu dia butuh waktu satu bulan.
Dia bilang sudah mantap,
pasrah kepada Tuhan bahwa dia siap.
Dia nggak lagi
mengkhawatirkan penyakit itu, sudah sangat enjoy.
Nah, saat itu saya cuma
kasih satu macam obat. Itupun hanya obat anti mual biar dia tetap bisa makan
dan punya energi untuk melawan kankernya.
Setelah hampir empat
bulan, dia check-up lagi ke Sardjito dan di sana dokter yang meriksa
geleng-geleng. Kankernya sudah berangsur-angsur hilang!”
“Orangnya masih hidup,
Pak?”
“Masih. Dan itu kejadian
empat belas tahun lalu.”
“Wah, wah, wah..”
“Kejadian itu juga yang
menjadikan saya yakin ketika operasi jantung dulu.”
“Lhoh, njenengan pernah
Pak?”
“Iya.
Dulu saya operasi bedah
jantung di Jakarta. Pembuluhnya sudah rusak. Saya ditawari pasang ring.
Saya nggak mau. Akhirnya
diambillah pembuluh dari kaki untuk dipasang di jantung.
Saat itu saya yakin betul
sembuh cepat. Maka dalam waktu empat hari pasca operasi, saya sudah balik ke
Jogja, bahkan dari bandara ke sini saya nyetir sendiri.
Padahal umumnya minimal
dua minggu baru bisa pulang.
Orang yang masuk operasi
yang sama bareng saya baru bisa pulang setelah dua bulan.”
Pak Paulus mengisahkan
pengalamannya ini dengan mata berbinar. Semangatnya meluap-luap hingga menular
ke pasiennya ini. Jujur saja, penjelasan yang ia paparkan meningkatkan harapan
sembuhku dengan begitu drastis.
Persis ketika dua tahun
lalu pada saat ngobrol dengan Bu Anung tentang pola makan dan kesehatan.
Semangat menjadi kembali segar!
“Tapi ya nggak cuma pasrah
terus nggak mau usaha.
Saya juga punya kenalan
dokter,” lanjutnya,
“Dulu tugas di Bethesda,
aslinya Jakarta, lalu pindah mukim di Tennessee, Amerika.
Di sana dia kena kanker
stadium empat. Setelah divonis mati dua bulan lagi, dia akhirnya pasrah dan
pasang mental siap mati kapanpun.
Hingga suatu hari dia
jalan-jalan ke perpustakaan, dia baca-baca buku tentang Afrika.
Lalu muncul rasa
penasaran, kira-kira gimana kasus kanker di Afrika.
Dia cari-cari referensi
tentang itu, nggak ketemu. Akhirnya dia hubungi kawannya, seorang dokter di
Afrika Tengah.
Kawannya itu nggak bisa
jawab.
Lalu dihubungkan langsung
ke kementerian kesehatan sana. Dari kementerian, dia dapat jawaban
mengherankan, bahwa di sana nggak ada kasus kanker.
Nah dia pun kaget, tambah
penasaran.”
Pak Paulus jeda sejenak.
Aku masih menatapnya penuh penasaran juga, “Lanjut, Pak,” benakku.
“Beberapa hari kemudian
dia berangkat ke Afrika Tengah.
Di sana dia meneliti
kebiasaan hidup orang-orang pribumi. Apa yang dia temukan?
Orang-orang di sana
makannya sangat sehat.
Yaitu sayur-sayuran
mentah, dilalap, nggak dimasak kayak kita.
Sepiring porsi makan itu
tiga perempatnya sayuran, sisanya yang seperempat untuk menu karbohidrat.
Selain itu, sayur yang dimakan ditanam dengan media yang organik. Pupuknya
organik pake kotoran hewan dan sisa-sisa tumbuhan.
Jadi ya betul-betul sehat.
Nggak kayak kita, sudah pupuknya
pakai yang berbahaya, eh pakai dimasak pula. Serba salah kita.
Bahkan beras merah dan
hitam yang sehat-sehat itu, kita nggak mau makan.
Malah kita jadikan pakan
burung, ya jadinya burung itu yang sehat, kitanya sakit-sakitan.”
Keterangan ini mengingatkanku
pada obrolan dengan Bu Anung tentang sayur mayur, menu makanan serasi, hingga
beras sehat. Pas sekali.
“Nah dia yang awalnya
hanya ingin tahu, akhirnya ikut-ikutan.
Dia tinggal di sana selama
tiga mingguan dan menalani pola makan seperti orang-orang Afrika itu.”
“Hasilnya, Pak?”
“Setelah tiga minggu, dia
kembali ke Tennessee.
Dia mulai menanam sayur
mayur di lahan sempit dengan cara alami.
Lalu beberapa bulan
kemudian dia check-up medis lagi untuk periksa kankernya,”
“Sembuh, Pak?”
“Ya! Pemeriksaan
menunjukkan kankernya hilang.
Kondisi fisiknya
berangsur-angsur membaik. Ini buki bahwa keyakinan yang kuat, kepasrahan kepada
Tuhan, itu energi yang luar biasa.
Apalagi ditambah dengan
usaha yang logis dan sesuai dengan fitrah tubuh.
Makanya situ nggak usah
cemas, nggak usah takut..”
Takjub, tentu saja.
Pada momen ini Pak Paulus
menghujaniku dengan pengalaman-pengalamannya di dunia kedokteran, tentang
kisah-kisah para pasien yang punya optimisme dan pasien yang pesimis.
Aku jadi teringat kisah
serupa yang menimpa alumni Madrasah Huffadh Al-Munawwir, pesantren tempatku
belajar saat ini.
Singkatnya, santri ini
mengidap tumor ganas yang bisa berpindah-pindah benjolannya.
Ia divonis dokter hanya
mampu bertahan hidup dua bulan. Terkejut atas vonis ini, ia misuh-misuh di
depan dokter saat itu.
Namun pada akhirnya ia
mampu menerima kenyataan itu.
Ia pun bertekad
menyongsong maut dengan percaya diri dan ibadah. Ia sowan ke Romo Kiai,
menyampaikan maksudnya itu.
Kemudian oleh Romo Kiai,
santri ini diijazahi (diberi rekomendasi amalan)
Riyadhoh Qur’an, yakni
amalan membaca Al-Quran tanpa henti selama empat puluh hari penuh, kecuali
untuk memenuhi hajat dan kewajiban primer.
Riyadhoh pun dimulai. Ia
lalui hari-hari dengan membaca Al-Quran tanpa henti.
Persis di pojokan aula
Madrasah Huffadh yang sekarang. Karena merasa begitu dingin, ia jadikan karpet
sebagai selimut.
Hari ke tiga puluh, ia
sering muntah-muntah, keringatnya pun sudah begitu bau.
Bacin, mirip bangkai
tikus,kenang narasumber yang menceritakan kisah ini padaku. Hari ke tiga puluh
lima, tubuhnya sudah nampak lebih segar, dan ajaibnya; benjolan tumornya sudah
hilang.
Selepas rampung riyadhoh
empat puluh hari itu, dia kembali periksa ke rumah sakit di mana ia divonis
mati.
Pihak rumah sakit pun
heran.
Penyakit pemuda itu sudah
hilang, bersih, dan menunjukkan kondisi vital yang sangat sehat!
Aku pribadi sangat percaya
bahwa gelombang yang diciptakan oleh ritual ibadah bisa mewujudkan energi
positif bagi fisik.
Khususnya energi penyembuhan
bagi mereka yang sakit.
Memang tidak mudah untuk
sampai ke frekuensi itu, namun harus sering dilatih. Hal ini diiyakan oleh Pak
Paulus.
“Untuk melatih pikiran
biar bisa tenang itu cukup dengan pernapasan.
Situ tarik napas lewat
hidung dalam-dalam selama lima detik, kemudian tahan selama tiga detik. Lalu
hembuskan lewat mulut sampai tuntas. Lakukan tujuh kali setiap sebelum Shubuh
dan sebelum Maghrib.
Itu sangat efektif. Kalau
orang pencak, ditahannya bisa sampai tuuh detik.
Tapi kalau untuk kesehatan
ya cukup tiga detik saja.”
Nah, anjuran yang ini
sudah kupraktekkan sejak lama. Meskipun dengan tata laksana yang sedikit
berbeda.
Terutama untuk mengatasi
insomnia. Memang ampuh. Yakni metode empat-tujuh-delapan.
Ketika merasa susah tidur
alias insomnia, itu pengaruh pikiran yang masih terganggu berbagai hal.
Maka pikiran perlu
ditenangkan, yakni dengan pernapasan.
Tak perlu obat, bius, atau
sejenisnya, murah meriah.
Pertama, tarik napas lewat
hidung sampai detik ke empat, lalu tahan sampai detik ke tujuh, lalu hembuskan
lewat mulut pada detik ke delapan. Ulangi sebanyak empat sampai lima kali.
Memang iya mata kita tidak
langsung terpejam ngantuk, tapi pikiran menadi rileks dan beberapa menit
kemudian tanpa terasa kita sudah terlelap.
Awalnya aku juga agak
ragu, tapi begitu kucoba, ternyata memang ampuh. Bahkan bagi yang mengalami
insomnia sebab rindu akut sekalipun.
“Gelombang yang
dikeluarkan oleh otak itu punya energi sendiri, dan itu bergantung dari
seberapa yakin tekad kita dan seberapa kuat konsentrasi kita,” terangnya,
“Jadi kalau situ sholat
dua menit saja dengan khusyuk, itu sinyalnya lebih bagus ketimbang situ sholat
sejam tapi pikiran situ kemana-mana, hehehe.”
Duh, terang saja aku
tersindir di kalimat ini.
“Termasuk dalam hal ini
adalah keampuhan sholat malam.
Sholat tahajud. Itu ketika
kamu baru bangun di akhir malam, gelombang otak itu pada frekuensi Alpha. Jauh
lebih kuat daripada gelombang Beta yang teradi pada waktu Isya atau Shubuh.
Jadi ya logis saja kalau
doa di saat tahajud itu begitu cepat ‘naik’ dan terkabul. Apa yang diminta,
itulah yang diundang.
Ketika tekad situ begitu
kuat, ditambah lagi gelombang otak yang lagi kuat-kuatnya, maka sangat besar
potensi terwujud doa-doa situ.”
Tak kusangka Pak Paulus
bakal menyinggung perihal sholat segala.
Aku pun ternganga. Ia menunjukkan sampul buku tentang ‘enzim panjang
umur’.
“Tubuh kita ini, Mas,
diberi kemampuan oleh Allah untuk meregenerasi sel-sel yang rusak dengan
bantuan enzim tertentu, populer disebut dengan enzim panjang umur. Secara berkala sel-sel baru terbentuk, dan
yang lama dibuang.
Ketika pikiran kita
positif untuk sembuh, maka yang dibuang pun sel-sel yang terkena penyakit.
Menurut penelitian, enzim
ini bisa bekerja dengan baik bagi mereka yang sering merasakan lapar dalam tiga
sampai empat hari sekali.”
Pak Paulus menatapku,
seakan mengharapkan agar aku menyimpulkan sendiri.
“Puasa?”
“Ya!”
“Senin-Kamis?”
“Tepat sekali! Ketika
puasa itu regenerasi sel berlangsung dengan optimal.
Makanya orang puasa sebulan
itu juga harusnya bisa jadi detoksifikasi yang ampuh terhadap berbagai
penyakit.”
Lagi-lagi,aku
manggut-manggut.
Tak asing dengan teori
ini.
“Pokoknya situ harus
merangsang tubuh agar bisa menyembuhkan diri sendiri.
Jangan ketergantungan
dengan obat. Suplemen yang nggak perlu-perlu amat,nggak usahlah. Minum yang
banyak, sehari dua liter, bisa lebih kalau situ banyak berkeringat, ya
tergantung kebutuhan.
Tertawalah yang lepas,
bergembira, nonton film lucu tiap hari juga bisa merangsang produksi endorphin,
hormon kebahagiaan. Itu akan sangat mempercepat kesembuhan.
Penyakit apapun itu! Situ
punya radang usus kalau cemas dan khawatir terus ya susah sembuhnya.
Termasuk asam lambung yang
sering kerasa panas di dada itu.”
Terus kusimak baik-baik
anjurannya sambil mengelus perut yang tak lagi terasa begah. Aneh.
“Tentu saja seperti yang
saya sarankan, situ harus teratur makan, biar asam lambung bisa teratur juga.
Bangun tidur minum air
hangat dua gelas sebelum diasupi yang lain.
Ini saya kasih vitamin
saja buat situ, sehari minum satu saja. Tapi ingat, yang paling utama adalah
kemantapan hati, yakin, bahwa situ nggak apa-apa. Sembuh!”
Begitulah. Perkiraanku
yang tadinya bakal disangoni berbagai macam jenis obat pun keliru.
Hanya dua puluh rangkai kaplet
vitamin biasa, Obivit, suplemen makanan yang tak ada ?;kaitannya dengan asam
lambung apalagi GERD.
Hampir satu jam kami
ngobrol di ruang praktek itu, tentu saja ini pengalaman yang tak biasa. Seperti
konsultasi dokter pribadi saja rasanya.
Padahal saat keluar,
kulihat masih ada dua pasien lagi yang kelihatannya sudah begitu jengah
menunggu.
“Yang penting pikiran situ
dikendalikan, tenang dan berbahagia saja ya,” ucap Pak Paulus sambil
menyalamiku ketika hendak pamit.
Dan jujur saja, aku pulang
dalam keadaan bugar, sama sekali tak merasa mual, mules, dan
saudara-saudaranya.
Terima kasih Pak Paulus.
Kadipiro Yogyakarta, 2016
Dari wordpress GUBUGREOT
Sumber : broadcast whatsapp.
0 comments
Thank you so much if you're going to comment my post, give advice or criticism. I'm so happy ^_^ But please don't advertising and comment with bad words here. Thanks !
♥ Aisyah